Tujuh Cerita Tentang Moli
Oleh: Selendang Sulaiman
Lengkap sudah cerita hidup Moli dirundung nestapa. Derita yang hanya ia rasakan sendiri dan setia menghitungnya saban waktu tanpa lenguh dan letih. Kesabaran hati dan kepercayaan diri yang membuatnya tegar menghirup udara segar di pagi hari, siang, dan malam-malamnya. Meski hawa nafas kehidupan tidak lagi seharum semerbak wangi bebunga di benggala.
***
/1/
Moli, perempuan anggun asli jogja. Ia hidup di tengah keluarga kaya. Bapaknya seorang pengelola Hotel berbintang di jogja. Sedang Ibunya adalah pemilik toko Busana Batik yang terbilang besar. Moli anak kedua dari dua bersaudara. Ia anak gadis yang dimanja oleh Bapaknya. Kasih sayang sang Ibu lebih besar pada kakaknya.
Sejak usia kanak, Moli suka memelihara anjing. Hampir setiap sepulang sokolah, waktu mainnya hanya bersama Poppy, anjing kesayangannya. Ia suka bergaul dengan siapa saja dan sangat akrab dengan sang kakak yang selalu bersedia membelikan daging untuk Poppy. Tiada yang kurang dari kehidupannya. Walaupun Ibunya lebih sayang pada si Kakak, Ia tidak kurang perhatian dari sosok seorang Ibu yang setia menemaninya dengan alunan lagu Nina Bobo menjelang tidur lelapnya.
Moli anak yang baik dan manja. Ia tidak pernah mau beranjak dari kasur empuknya sebelum air hangat sudah tersedia di bak mandi. Menjelang sarapan dan minum susu, daging untuk Si Poppy harus telah tersedia pula. Jika tidak, Ia hanya akan memandangi sepiring nasi dengan telor mata sapi di atas piring. Itupun jika Bapak, Ibu, dan Kakaknya sudah pada duduk di kursi meja makan.
Sebelum Ia berangkat ke sekolah diantar Bapaknya, terlebih dahulu Ia menemui Poppy memberikan makan dan tak lupa mengelus bulu coklatnya yang lembut. Dan tidak pernah lupa untuk berpesan pada Ibu atau Kakaknya, jika Poppy keliahatan kurang sehat, segera menghubungi di sekolah. Kebiasaan itu tidak menjadi masalah bagi kedua orang tuanya. Kakaknyapun tidak sekalipun mengeluh dengan sifat dan karakter Adiknya, Moli.
Di sekolah ia terbilang Siswi yang suka membandel dan nakal. Tapi dia cerdas dan pintar serta suka menabung. Pandai bergaul, baik hati dan tidak memilih-milih teman. Hanya saja dia lebih suka bermain dengan Poppy dari pada menghabiskan waktu mainnya bersama anak-anak seusianya sepulang sokalah.
/2/
Sore itu, Moli jalan-jalan kecil bersama Poppy di halaman hingga ke luar pagar. Saking asyiknya main, Moli tidak melihat dan tidak mendengar ada suara mobil dari arah yang berlawanan. Dia masih tertawa-tawa kecil melihat Poppy menajamkan penciumannya ke aspal. Tiba-tiba Poppy meloncat ke tengah jalan melihat sepotong daging segar. Moli membiarkannya, dan darah merah segar menjepret ke mukanya. Sadarnya, Poppy telah digilis mobil yang melaju berkecepatan sedikit kencang.
Sejak saat itu Moli benci warna darah. Sejak itu pula, ia tidak lagi pandai bermain senyum. Bola matanya tak lagi memancarkan sinar permata. Sayu. Aura wajahnya mengguratkan bias kehilangan di tinggal Poppy. Makan, Ia tak berselera. Tidur Ia tak lelap. Bahkan bicarapun, enggan. Segala rayuan penghibur bapaknya, sidikitpun tak merubah keruh wajah sedihnya. Apalagi perhatian sang ibu, hanya mampu memindahkan posisi tubuhnya di atas kursi ke atas kasur. Sementara kakaknya, hanya sanggup menahan nafas dalam-dalam melihati Moli bermuram durja sembari mempelintiri poni rambutnya.
/3/
Sebulanan Moli malas keluar kamar. Apalagi pergi sekolah. Pun enggan untuk diajak bicara. Maunya hanya bermain dengan Poppy. Keinginannya bukan untuk ditemani dan dihibur. Kecuali kembali setiap pagi memberi makan si Poppy. Bapak, ibu, dan kakaknya menggurut dada sambil menitikkan air mata melihat Moli murung diri di rundung durjana.
Sebulan setelah kepergian Poppy. Tubuh Moli tak lagi lansing berisi. Ramping tinggal kulit yang kering. Matanya kian sayu dengan aura wajah yang semakin layu. Kesedihan mendalam mendera bapakknya yang setia memanjanya. Semua menjadi angan-angan tak sampai. Ibupun tambah sayang dan perhatian padanya. Namun, segalanya sia-sia. Moli tak lagi mempu merasakan semua itu. Kepergian Poppy telah merenggut kebahagiaannya dan telah menutup mata dan hati pikirannya untuk siapapun.
/4/
Setengah siang, Moli bermain-main bayangannya sendiri di halaman rumah, di samping rumah Poppy yang masih terawat bersih. Ia berlari-lari kecil mengejar bayangannya sendiri. Sesekali merangkak sambil tertawa kecil kemudian berhenti dengan wajah keruh kesedihan. Tersenyum geli menatap rumah Poppy yang kosong.
Seorang perempuan setengah baya menghampirinya, dengan pakaian resmi seorang PNS. Moli terkejut, tatapnya terhenti membelalak lekat-lekat, seolah Ia pernah mengenal dan atau sempat melihat perempuan yang datang menghampirinya.
“Ibu hendak mengantar Poppy kan!” Sapa Moli menyemburatkan aura penuh pengharapan seraya memeluk separuh tubuh perempuan itu.
“Moli… Poppy siapa? Ibu datang kemari untuk mengantarkan…”
“Mengantarkan Poppy Kan Bu…” celetuk Moli nyerocos memotong percakapan seraya melepaskan pelukan eratnya.
“Tidak Moli… Ibu kesini mau mengantarkan surat dari Kepala Sekolahmu pada Bapakmu…” Tukasnya, tanpa tahu bahwa ucapan itu kian semakin membengkakkan kesedihan dan kekecewaan di hati Moli.
Dengan perasaan sedih Ia meninggalkan perempuan setengah baya di depannya tanpa meninggalkan sepatah kata. Kecuali isyarat langkah yang berat kekecewaan.
“Maaf Pak, keputusan ini sudah kesepakan bersama dari pihak sekolah” Kata Bu Zuhro, Wali kelas Moli dengan nada berat hati seraya menyandarkan punggungnya ke sofa.
“Saya paham Bu! Namun, apa tidak ada cara lain untuk meringankan beban Putri kami?” pinta bapak Moli dengan nada melas.
“Saya sebagai Wali kelas Moli, sudah berusaha mempertahankan putri bapak dan ibu. Namun peraturan di sekolah tidak bisa digugat lagi,” bu Zuhro menahan nafas dalam-dalam seraya menyerahkan sebuah amplop pada bapak Moli.
“Ayolah bu, bantu kami, saya sebagai ibunya sangat tidak tega melihat kondisi Moli. Saya tidak ingin kesedihnya tambah parah!” setitik manik air mata menetes.
“Maksud saya juga seperti itu bu! Tapi saya bisa apa? Sebagai Wali Kelasnya, saya hanya mampu mendoakan agar Moli cepat kembali pulih!.
/5/
Moli semakin hari kian melupakan orang-orang yang ada perhatian padanya. Bapak yang begitu sayang dan selalu memanjanya, seolah seorang penjual jamu di pasar. Pun si kakak yang setia sedia membelikan daging makanan kesukaan Poppy, menjadikannya tambah terpuruk dalam bayang-bayang kematian anjing kesayangannya. Apalagi perhatian dan kasih sayang sang ibu, ibarat riak-riak air menghanyutkan baginya.
Entah dengan cara bagaimana dan siapa yang mampu menghiburnya. Sekedar meriakkan setitik sunyum atau membiaskan aura ria di wajah pasinya. Teman-teman sepermainannyapun di sekolah hanya bisa mengernyitkan kening ketika suatu waktu menbesuh di hari libur untuk mengajak jalan ke taman atau ke tempat pemancingan.
Melihat keadaan Moli yang semakin hari tambah murung dirundung kelam. Praharapun pecah diantara bapak dan ibunya. Hampir setiap malam suasana hiruk pikuk perang mulut membisingkan isi rumah. Pagi harinya, tak jarang ada gelas atau piring yang pacah membentur keramik bening warna kecoklat-coklatan. Warna kesukaan Moli, warna bulu si Poppy.
Centaaarrr! Vas bunga terpelanting ke dinding, kesepak punggung tangan kakak Moli. Suatu sore saat tengkar lidah pacah di ruang tamu antara bapak dan ibu sepulang dari kerjanya masing. Barangkali lantaran mereka kecapaian dengan numpuknya pekerjaan atau karena Moli yang tingkahnya sudah seperti seorang dipresi. Entahlah, yang tampak terdengar dari percakapan panas itu hanya kata cerai.
Moli masih tenggelam di palung kepiluan. Seperti bunga yang terhempas dari vas. Tinggalah layu.
Setahun berlalu. Moli kembali memuka mata. Namun, semuanya sudah jauh berbeda dari apa yang diharapkan. Kakak yang dulunya rajin membelikan daging untuk Poppy, sudah tidak lagi. Bahkan jarang bertukar senyum dengannya. Ibunya menjadi lebih parah dari yang Ia tahu, tidak lagi perhatian, malahan sering memarah-marahinya lantaran banyak tanya ketika telat pulang tengah malam bersama lelaki yang tidak Moli kenal. Sedang sosok bapak yang selalu memanjanya sejak usia kanak, tidak lagi hadir di tengah keluarganya.
Cerita Kakaknya, bapak dengan ibu sudah tujuh bulan lalu menanda tangani surat pernyataan cerai di kantor pengadilan Agama, setahun sejak kematian Moli.\
/6/
Moli sudah kehilangan kepercayaan terhadap orang lain. Seolah yang mengerti hidupnya hanya dirinya sendiri. Dia tidak pernah mau mendengar apa kata orang, kecuali kehendak nurani atau nafsunya sendiri. Dengan begitu, Ia memilih hidup liar di luar. Keluar masuk diskotik tanpa ada yang melarang. Sampai Ia berani menjalani bisnis dengan transaksi sembunyi-sembunyi.
Ia bertemu dengan seorang lelaki perkasa sebagaimana sosok bapaknya dulu. Moli merasa nyaman dan tenang ketika bicara dengannya. Sambil berjalannya waktu, Moli-pun menerima pernyataan cinta lelaki perkasa itu. Jalinan kemesraan terpancar dalam hubungan mereka.
Namun, kenyataan hidup berkata lain. Lelaki perkasa itu tiba-tiba raib tanpa kabar di telinga Moli. Sestelah beberapa hari Ia tahu tentang perjalanan kehidupan Moli yang ia dengar dari cerita-cerita yang Moli ungkapkan.
Kepergiannya membuat Moli benci pada kaum lelaki. Dia kian liar dalam menjalani kehidupan. Kontrol dari keluarnya tiadak pernah Ia rasakan. Bertumpuk kekecewaan telah membuatnya mati suri dalam meniti kehidupan. Namun Ia telah menjadi perempuan tegar menghadapi romantika kehidupan. Pantang menyerah meredam derita lara yang menindih jiwa da perasaannya. Dan lebih tangguh menghadapi beragam badai persoalan.
/7/
Entah bagaimana awal kisah cerita ini. Tiba-tiba saja Moli sering berduaan dengan seorang gadis cantik yang tak pernah kelihatan sebelumnya. Hampir setiap malam mereka nongkrong berdua di Cafe-Cafe. Parahnya, tidak jarang mereka bermesra ria disana. Kata seseorang yang pernah mengenal dan diceritainya, Moli mendera kelainan mental suka pada sesama jenis.
Akhir cerita, Moli benar-benar hadir di dunia dengan mata dan hati nurani yang terbuka terang penuh cahaya kesadaran. Ia mulai mengingat-ingat kembali peristiwa-peristiwa di masa kecilnya, kejadian tragis kematian Poppy, ketika seorang perempuan setengah baya menghapiri di halaman rumahnya, tentang lelaki perkasa yang menggerogoti kegadisannya, dan perempuan yang setia selalu menemaninya setiap malam di dalam Cafe.
Setiap Ia mengingatnya, pastilah ia termenung kaku seorang diri. Auranya tampak letih dan sepi. Tubuhnyapun kelihatan lunglai. Air payau membasah di punggung tangan kanannya.
Yogyakarta, april 2010
Menalar Rindu
Malam selalu datang sendirian. Sebagaimana bayangan wajahnya menghampiriku setiap malam. Aku gelisah, dan rindu tak henti-hentinya mencipta resah. Nafasku sesak bila kehendak untuk berjumpa memuncak, serasa tiada ketenangan tanpa ada dia di sampingku. Namun bukan bayangannya semata yang mengacaukan isi kepalaku, hanya sebagian dari beragam persoalan dalam hidupku. Bukankah perempuan adalah pendamping setiap lelaki?. Ya, bukan dia perempuan yang menggelisahkan hatiku, tetapi keinginan besar yang tak terlampiaskan; impian, obsesi, profesi dan tanggung jawab sebagai ketua dalam sebuah Organisasi Mahasiswa di kampus.
Barangkali hanya nurani dan pikiran jernih yang mampu menerima kehadiran sosok perempuan dalam hati setiap lelaki yang disibukkan dengan tanggung jawab dalam sebuah Organisasi. Namun tidak bagiku, perempuan ibaratnya embun pagi yang meniti di atas daun-daun yang menyegarkan. Sebagaimana aku selalu menulis puisi tentang perempuan dan keindahannya. Seperti suatu malam lalu, ketika pikiranku kacau dan balau oleh berbagai persoalan yang berkecamuk dalam kepalaku, hanya gelisah rindu yang mampu memadamkan kobaran api yang membakar otakku dengan kata-kata indah yang aku tulis menjadi puisi rindu untuk dia perempuan yang menghinggapi ruang kalbuku. Sebab hanya kata-kata puitis kepada Rianda yang mampu menentramkanku dan bisa melelapkan mataku, maka kutulis kata-kata;
Sebagaimana metafor aku datang padamu di malam atau siang ini. Kau sedang sakit bukan? Kata-kata telah bercerita padaku sejak sekian waktu lalu; Aku yakin kau bertahan dari keindahan metaphor yang serupa dengan kata-kataku. Jangan takut, aku tak akan terlelap lalu menjelma kata-kata di tidurmu; Jika kau merasa nyeri oleh luka, waktu akan larut dalam sakitmu. Nikmatilah! Ia lebih ngilu dari rahasia dalam kata-kataku atau metaformu yang memanah hati dan jiwaku atau hati kita. Merawat suasuatu ambigue. Rianda, jika hidupmu menyala oleh kata-kata yang menjadi metafor. Congkallah kedua bola mataku. Maka kau akan dapatkan semesta kebahagiaan. (Cindie Cemeng)
Malam selalu datang sendirian. Sebagaiman puisi yang lahir untuk dia perempuan, “Rianda” aku memanggilnya. Dia adalah perempuan yang setia aku temani setiap kali merasakan keresahan dan kekecewaan di hatinya. Dia pula perempuan yang setia mendengarkan cerita-ceritaku, ketika aku sudah pening memikirkan urusan Orgabisasi. Aku dan Rianda adalah sahabat yang saling memahami dan saling pengertian. Sebab Rianda dan aku memiliki kebiasaan yang sama; sama-sama suka mendramatisir keadaan, sama-sama gemar mempuisikan setiap peristiwa, dan sama-sama suka membaca kisah-kisah percintaan dalam roman. Oleh sebabnya aku dan dia jarang bertengkar walau karakter dan sifatku dengan dirinya bertolak belakang, mungkin karena kita sudah terbiasa bermain logika dalam perasaan.
Malam selalu datang sendirian. Sebagaimana rasa yang timbul di hatiku dan hatinya. Rasa yang tiba-tiba lahir dan hampir meruntuhkan persahabatanku dengannya. Entah apa namanya, aku menjadi bodoh untuk mengartikan dan menafsirkannya. Sampai aku harus memutuskan untuk bertemu sekedar mengatur waktu demi memaknai rasa yang datang tanpa diundang dan hanya menumbuhkan keresahan dan gelisah yang tiada terkira baik dalam jumpa maupun berada diantara jarak. Orang-orang bilang, itulah rindu, tetapi bagiku begitu tabu.
Akhirnya, setelah aku dengannya memtuskan tidak bertemu untuk beberapa waktu. Aku baru mulai menemukan bias-bias makna dari apa yang bergelayut dalam benak dan pikiranku. Aku mulai sepenuhnya paham dan mengerti dengan isi SMS-nya yang puitis;
“Asa dan harapmu tak patah oleh badai, keraguan yang buatmu tepiskan mimpi. Sungguh, angin itu berniat belai gerai rambutmu, janganlah kau takut!_Rianda”
“Bagaimana mampu aku menolongmu, jika uluran tanganku kau lempar ke sungai deras. Reranting yang kujulurkan kau patahkan. Apa yang mesti aku katakan? Teriakanku sepert bisik di telingamu!_Rianda”
Dengan beberpa SMS yang dia kirim padaku itu, aku mulai meraba-raba maksud hatinya. Mungkin dia juga akan berprasangka sama dengan satu balasan SMS ku,
“Entahlah, aku masih ragu akan kehadiran isyarat dan tanda yang kau utus padaku itu, sebab mimpiku sejak dulu selalu sepi dari cahaya. Aku takut, mata kucing yang tajam di mukanya itu, akan membelah mimpi-mimpi yang mulai aku rampungkan, walau tak serapi bulu-bulu kucing yang halus bak sutra itu_Ciendie”.
Hampir aku tidak luput berprasangka dan berceruiga padanya tentang perasaanku dan perasaannya. Suatu waktu yang tak pernah aku harapkan kehadirannya, aku bertemu di tempat biasa aku bercakap dan bertukar cerita dengan dirinya. Saat itu dia bicara lirih padaku: Semalam bulan sabit itu menjelma purnama sempurna, indah betul cahayanya. Meski kini kita kembali membangun benteng yang begitu tinggi, namun kau dan aku telah saling mengetahui dan menyimpan rapat sketsa rindu di hatiku dan hatimu. Kau tahu? Baru sekarang aku menyadari bahwa cinta seperti kopi. Pekat dan pahit, namun tak membuat kita berhintu meminumnya. Ya, seperti kopi yang selalu menjadi perantara pertemuan kita.
***
Benarlah rindu adalah candu yang harus dinikmati setiap waktu. Dan tiada yang terang ketika asmara menjadi bara dalam hati yang membara. Seperti kilatan cahaya di terik siang yang tak dapat dibedakan. Seperti adanya dalam diriku. Seperti bayang-bayang yang kehilangan bentuk dan rupa. Namun jelas dalam ingatan. Itulah cinta.
“Seperti air mata. Indah tangismu, waktu itu” Mungkin ini adalah pernyataan yang paling jujur padamu serta pertanyaan yang paling tulus pula untukmu. Atau hanyalah kenakalanku saja dalam menggunakan kata-kata indah. Namun itulah rindu yang aku nalar bersama Rianda.
Kaliopak, 21 juli 2010/ 04;15;45